← Back to portfolio

Janji Jari Kelingking

Published on

Mentari senja sore itu perlahan mulai menenggelamkan diri.

Dengan sigap, sang malam menggantikannya.

Kami masih asyik bersenda gurau di pesisir pantai, ditemani debur ombak yang berkejaran.

"Kau betul-betul yakin dengan keputusanmu?"

"Tentu. Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

"Kau takut ya?"

"Jujur, sedikit."

"Apa yang kau takutkan? Jakarta itu dekat."

"Bukan, jarak itu tak ubahnya hanyalah angka, lagipula, yang aku takutkan adalah perubahan sikapmu nanti."

Aku menghela napas panjang sambil merebahkan tubuhku di pasir.

Seolah memberikan sambutan terakhir padaku, bintang-bintang malam ini bersepakat untuk tak bersembunyi dibalik gelapnya malam. Indah sekali.

"Kau ingat langit malam kemarin?" tanyaku.

"Ya."

"Kemarin tak ada bintang satupun. Tapi, lihat malam ini."

"Lantas?"

"Kau tahu? Tak selalu perubahan itu buruk. Memang banyak, tapi tak semua."

"Entahlah. Aku hanya takut."

"Aku tak bisa memaksamu untuk percaya. Aku hanya minta titip hatimu padaku."

"Kau berjanji?"

Seketika, aku meraih kelingking tangannya.

"Janji jari kelingking."

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Riyandi Joshua

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.