← Back to portfolio

Kalut

Published on

Dahulu, pisah kita didasarkan tanpa alasan yang cukup kuat dan jelas.

Satu hal yang kutahu, alasan yang tanpa sengaja terbentuk adalah kita ingin memperbaiki dan menyiapkan diri terlebih dahulu. Satu hal yang kutakut, perihal kebenaran asumsiku. 

Rutinitasku yang berbaris rapi tiba-tiba saja dipaksa kehilangan salah satu kegiatannya: mengabari dan dikabarimu. Jadwal tersebut sekarang laksana jam kosong yang dengannya, aku tak tahu harus mengisi apa. Tak ada yang benar-benar siap dalam hal kehilangan.

Memang, tak ada yang abadi di dunia yang kata orang "fana" ini. Kau pergi pun, waktu tetap berputar menyantap setiap detik, matahari dan bulan tetap berganti tempat ketika salah satu lelah, dan kedai di tepi jalan yang biasa sering kita singgahi tetap menyuguhkan kopi dengan latte art berbentuk hati.

Namun, jika kau ingin sedikit tahu, kini, detik yang disantap terasa lebih lamban. Siang dan malam menjadi repetisi yang tidak berisi. Dan kopi kedai itu tidak semanis biasanya.

Pisah kita sekiranya dapat meringankan kinerja otak dalam perihal atensi. Energi yang dahulu dihabiskan untuk memerhatikan setiap detail kegiatan masing-masing setiap harinya, kini dialokasikan untuk hal lain yang entah apa.

Kerja rindu menjadi lebih ekstra, dipupuk jarak dan disiram kenyataan menjadikannya berakar kuat dan menjulang ke angkasa.

Kala itu, kita sering mendebat perihal hubungan tanpa status.

"Status tidak penting," katamu. Dan aku tidak setuju.

Jika berada dalam hubungan tanpa status merupakan kegiatan menghabis-habiskan waktu. Maka, menghentikannya merupakan kegiatan menghabis-habiskan waktu dengan cara yang membosankan. Setidaknya, waktuku dihabiskan denganmu. Pikirku, kini. Cukup telat.

"Jangan mau berada dalam hubungan tanpa status. Mending cari yang lain," kata mereka. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Namun, menurutku, itu dilakukan oleh nahkoda yang belum menemui pelabuhannya. Sedangkan aku, telah. Lantas, ingin mencari apa lagi?

Sekarang, cerita tinggal cerita. Sebagian besar momen yang telah kita lalui rasanya telah kujadikan sebagai prasasti digital. Agar nantinya, terlepas kita akan menjadi sepasang ataupun mengasing, akan banyak sejarah yang dapat aku —atau kaupun juga boleh— baca ulang hingga bosan. Kata terakhir mungkin saja tidak akan terjadi.

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Riyandi Joshua

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.