← Back to portfolio

Sore Itu, Mereka Berbicara

Published on

Rutinitasku setelah kehilanganmu tak ayalnya hanyalah tumpukan koran bekas yang beritanya tak lagi menarik untuk dibaca. Tak ada lagi berita hangat setiap pagi dari loper manis yang mengantarnya sampai di beranda kolom percakapan kita. Padahal, hampir genap dua tahun sudah. Pikirku masih berkutat dengan matamu yang meneduhkan.

Sore itu, kuputuskan untuk kembali mengunjungi tempat dimana dulu kita sering menghabiskan waktu berdua: Taman Suropati. Duduk di kursi kayu tua berwarna putih sembari menikmati lantunan nada dari komunitas biola Taman Suropati Chamber adalah cara sederhana kita untuk sejenak menghindar dari karut-marutnya ibukota. Hari itu tak seramai biasanya, mereka kehilangan satu pengunjung setianya. Lantunan biola terdengar tak semerdu biasanya, mereka kehilangan satu melodinya. Merpati yang kau namakan "Luka" —karena sayapnya sempat patah dan kau merawatnya— pun kehilangan seorang pembawa jagung kering untuk santap sorenya.

Pada sebuah tempat duduk batu, lamunanku dibawa melanglang buana oleh semilir angin dari sela pepohonan.

"Hei, sudah lama, ya, kau tidak kesini. Dimana Nir?" sapa lampu taman.

"Iya, dimana Nir? Aku sangat rindu meneduhinya," sahut pohon Mahoni. 

"Aku pun rindu jagung kering manis darinya. Tidak seperti jagung milik pak tua berambut putih itu yang hambar seperti tisu," ujar Luka seraya mematuk jagung kering yang kutaburkan di tanah. Tanpa menjawab, aku hanya sedikit tersenyum masam. Mereka berpandangan satu sama lain dengan bingung. Lumayan lama hening tercipta.

"Kau sudah tidak bersama dia lagi, ya?" pecah tempat duduk batu di sebelahku —yang dulu sering diduduki Nir.

"Begitulah." Jawabku singkat. 

"Kami turut sedih," syahdan, pohon Mahoni memelukku dengan daun yang digugurkannya. Luka terbang dan hinggap di jari telunjukku.

"Tenang saja, aku akan tetap merawatmu, Luka."

Lamunanku buyar tatkala bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang. Setelah menoleh, aku mengenali orang tersebut sebagai Panji, seorang kawan yang juga violinis Taman Suropati Chamber yang dulu dikenalkan oleh Nir.

"Kok melamun sendirian disini? ayo gabung sama yang lain!" ajak Panji sembari menarik tanganku. Sempat menolak, namun akhirnya aku pun bergabung. Banyak obrolan dan senda gurau yang lahir sore itu hingga langit membias jingga keunguan. Setelah berpamitan, aku bergegas pulang, menyusuri setapak yang diterangi lampu-lampu jalan.

"Aku rindu kau, Nirmala."

___***___

Dua tahun silam

Pemakaman Nirmala dan ayahnya dipenuhi oleh karangan bunga dan orang berpakaian hitam-hitam. Tangis Ibunya pecah sejadi-jadinya. Pihak keluarga berusaha menenangkan beliau, namun sepertinya tidak berpengaruh banyak. Aku, yang turut berada dalam keramaian masih tidak percaya apa yang kulihat tiga hari lalu. "Pesawat Indonesia tujuan Inggris dengan kode penerbangan Boeing 767-100 mengalami kecelakaan", judul berita tersebut sangat memukulku. Segera aku mencari daftar nama korban kecelakaan seraya berharap tidak menemukan nama Nirmala Swastamita. Telunjukku berhenti pada baris ke-98. Duniaku berhenti berputar.

___***___

Dua tahun tiga bulan silam

"Aku dapat donor!" ujar Nirmala diseberang sambungan telepon.

"Benarkah? Akhirnya ketemu juga, aku turut senang, Nir."

Sudah lama Nirmala menantikan kabar tersebut, begitu pula aku. Melihatnya terkungkung dalam keterbatasan sangatlah menyayat perasaanku. Hal yang dapat ia lakukan setelah kejadian itu hanyalah duduk di bangku taman sembari mendengarkan gesekan senar biola. Syukurlah, dalam tiga bulan ke depan, ia akan dapat melantunkan nada-nada indah lagi dari biolanya. Ayah dan ibunya bekerja sangat keras untuk dapat mengembalikan lagi mimpi putri tunggalnya menjadi seorang violinis akustik nomor satu se-Indonesia. Aku percaya ia mampu, apalagi dengan paras indah dan kemampuannya yang di atas rata-rata menurutku. Aku —tanpa sepengetahuan Nirmala— turut membantu pengumpulan biaya administrasi untuk operasi Nirmala yang setelah aku cari tahu, ternyata sangat mahal dan memiliki kemungkinan gagal pula. Sempat ditolak oleh orang tuanya, namun aku berhasil meyakinkan mereka untuk menerima niat baikku.

___***___

Tiga tahun silam

Koridor rumah sakit tak pernah terasa semencekam malam itu. Hanya ada aku, Panji serta ayah dan ibu dari Nirmala yang tak dapat membendung tangisnya. Waktu berjalan dengan sangat lambat. Aku masih murka teringat kejadian beberapa jam lalu. Selepas berlatih biola dengan komunitas Taman Suropati Chamber, Nirmala mengajakku membeli cemilan di sekitaran Taman Suropati.

"Ke taman bunga bentar yuk, di seberang," pinta Nimala. "Aku duluan, ya." Sambungnya lagi. Aku mengiyakan dan membayar cemilan yang kami pesan. Sesaat kemudian, terdengar bunyi dencitan rem beradu dengan aspal jalan.

NIRMALA TERTABRAK. Mobil putih yang platnya tak sempat kulihat itu langsung menancap pedal gasnya dan menghilang ditelan mobil lainnya.

"KEPARAT!" Umpatku. Jalanan dikerumuni orang yang penasaran dengan apa yang terjadi. Segera aku bersama Panji membawa Nirmala ke rumah sakit dan menghubungi orang tuanya.

Pintu ruang UGD dibuka, muncul sosok dokter bertubuh tinggi dengan stetoskop yang dikalungkannya di leher.

"Bagaimana anak saya, Dok?"

Dengan sedikit menghela napas, dokter tersebut angkat bicara. "Saya punya kabar baik dan kabar buruk." Dokter melanjutkan, "kabar baiknya, anak bapak berhasil selamat, untung saja tidak kehilangan terlalu banyak darah. Lalu, kabar buruknya.."

"Apa, Dok?"

"Sepertinya benturan yang terjadi tadi sangatlah keras, menyebabkan saraf tangan kanannya mati, dan ada kemungkinan harus diamputasi."

Pernyataan tersebut membuat malam itu semakin kelabu.

___***___

Lima tahun silam

Taman Suropati menjadi tujuanku selanjutnya untuk berburu potret. Kudengar, lumayan banyak titik-titik indah untuk diabadikan. Banyak pula violinis yang biasanya berkumpul di sore hari. Hal itu tentunya menarik minatku untuk menambah koleksi potret. 

Tatkala tiba di lokasi, mataku menangkap sesosok paras cantik tengah berdansa dengan biolanya. Rambut panjang setengah bergelombang, mata teduh, dan lantunan magisnya, sontak membuatku jatuh hati. Ia hanya sendirian kala itu. Sepertinya datang lebih dulu dibanding violinis lainnya. Bias jingga sore itu berpadu dengan sesosok jelita berbiola adalah kombinasi yang sempurna untuk diabadikan. Segera saja aku melesatkan shutter pada objek indah itu. Hasilnya pun tidak mengecewakan.

"Dia harus lihat hasil potret ini," gumamku dalam hati. Setelah berperang batin, akhirnya kubuang jauh rasa malu dan gengsiku untuk mengajaknya berkenalan bermodalkan potret bergambar dirinya. Tanpa pernah kusangka. Perkenalan itu membawa kami ke hubungan yang lebih jauh.

Kau memang sesuai dengan namamu, Nirmala.

0 Comments Add a Comment?

Add a comment
You can use markdown for links, quotes, bold, italics and lists. View a guide to Markdown
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. You will need to verify your email to approve this comment. All comments are subject to moderation.

Subscribe to get sent a digest of new articles by Riyandi Joshua

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.